Jumat, 29 Juli 2011

Friendship in My Diary

Memori-memori itu mulai bermunculan,

saat Tiara membuka salah satu halaman di dalam diary-nya.

Memori yang menjadi kenangan diantara mereka…

Sebuah memori tentang persahabatan…



Fiuh…!!!

Sudah satu minggu nih, aku menjalankan aktifitas sekolah lagi. Sekarang sudah kelas 2 SMA. Tapi sayangnya, aku harus pisah sama semua sahabatku dikelas satu. Zee, Nana, Vivi, dan Intan. Kita semua ditempatkan dikelas yang berbeda. Tidak bisa aku pungkiri, semangat aku selalu ada saat mereka semua ada bersamaku. Bahkan saat mereka tidak ada pun, dengan mengingat mereka, semangatku seakan selalu baru.

Sepulang sekolah, seperti biasa, kami berkumpul bersama di bawah pohon rindang sekolah, tidak jauh dari kantin. Seperti kebiasaan saat kelas satu.

Baru saja ngobrol sebentar, tiba-tiba ada pengumuman bahwa seluruh pengurus OSIS harus berkumpul di sekretariat untuk mengadakan acara perekrutan anggota muda dari siswa kelas satu. Huff… so akhirnya kami berlima harus cepat-cepat menuju ke sekretariat. Ini lah salah satu kegiatan kami, menjadi pengurus OSIS. Jadi walaupun tidak sekelas lagi, kami tetap bisa sering bertemu.

Sebenarnya kami pun tidak sengaja sampai akhirnya bisa menjadi anggota tetap OSIS, awalnya saat kelas satu. Kami mengisi satu artikel untuk majalah sekolah. 3 hari setelah majalah sekolah itu terbit. Ketua OSIS malah menemui kami dan meminta kami untuk menjadi seksi mading OSIS. Awalnya sih sedikit keberatan, tapi setelah dipikir-pikir, tidak ada salahnya juga di coba. Lumayan untuk sedikit belajar berorganisasi, jadi kenal banyak teman juga. Beberapa bulan setelah itu, kami mencoba ikut serta dalam LDKS (Latihan Dasar Kepemimpinan Siswa), dan akhirnya kami pun menjadi pengurus OSIS. Dan aku, Tiara, menjabat sebagai wakil ketua MPK (Majelis Permusyawaratan Kelas), melebihi jabatan sahabat-sahabatku J

Saat sampai di ambang pintu sekretariat yang terbuat dari kaca, di dalam sudah ada Kak Bobi, yang merupakan mantan ketua OSIS sebelumnya, mungkin sedang menjelaskan tetang acara perekrutan anggota muda itu sendiri.

Menyadari kedatangan kami berlima, dia langsung memberi sebuah anggukan memberi isyarat pada kami untuk segera masuk kedalam.

Akhirnya aku melangkah masuk lebih dulu, di belakangku ada vivi yang terdengar berbisik pada Intan

“ya ampun… Kak Bobi ganteng banget sih…”

“jangan kecentilan deh, Vi! Mau rapat nih!”, aku mendengar jawaban Intan yang sedikit membentak. Sedangkan aku, Nana, dan Zee. Tidak begitu mempedulikan dialog singkat tersebut.

Didalam ruangan pun, kami harus duduk sedikit berjauhan. Vivi duduk bersama Intan, Nana bersama Zee, dan aku harus duduk bersebelahan dengan ketua MPK saat ini.

Sepanjang rapat berlangsung, kami sebagai pengurus OSIS yang baru lebih banyak diam dan memperhatikan arahan yang diberikan Kak Bobi. Hanya terkadang diselingi oleh beberapa pertanyaan dari kami jika ada sesuatu yang belum dipahami. Hingga akhirnya rapat selesai.

“Ti.. Ti..!! ya ampun, itu Kak bobi tadi berkarisma banget ya pas lagi rapat…”, Vivi sedikit mengungkapkan kekagumannya. Memang sejak kelas satu, dirinya terpesona pada Kak Bobi. Sedangkan aku hanya membalasnya dengan senyuman, seraya melangkah ke luar ruangan.

“Eh Vi! Loe tuh bener-bener kecentilan ya!”, Intan sedikit membentak setelah mendengar ucapan Vivi.

“loe tuh kenapa sih? Gue kagum sama Kak Bobi. Emang nggak boleh?”

“bukan gitu, Vi. Tapi sikap loe itu biasa aja dong! Malu-maluin tau!”, Intan kembali membentak.

“udah ah! Kayak anak kecil loe semua! Udah ya… gue pulang duluan. Tuh angkot gue udah nunggu”, kataku sambil menunjuk kearah angkot diseberang jalan. Sedangkan keempat sahabatku pulang dengan rute yang berlawanan arah dengan arah rumahku. Diantara kami berlima, memang hanya aku yang rumahnya agak jauh, sedangkan rumah mereka berempat cukup berdekatan.

Huff…

Hari Sabtu seperti ini, lalu lintas yang mengarah ke rumahku memang selalu padat. Maklum akhir pekan. Harusnya bisa santai-santai dirumah, ini malah masih dijalan. Kalau sudah seperti ini, pasti memakan waktu hampir satu jam untuk sampai dirumah L

Hoooaaammm…

Setelah tadi siang terjebak macet dijalan, badan terasa sangat letih dan mebuatku tertidur sesampainya dirumah.

‘KRIIING…’

Suara dering telepon sedikit menyentakku yang masih dalam keadaan mengantuk.

“Tiara! Tolong angkat teleponnya..”, seru Ibu dari arah dapur.

“Iya Bu…”

Dengan segera, kuraih gagang telepon yang terletak dimeja kecil ruang keluarga.

“Hallo…”, kataku menyapa.

“Hiks Hiks…”, tidak ada jawaban diseberang sana, yang aku dengar hanyalah suara isak tangis. Dan ini membuatku bingung, siapa ini sebenarnya.

“Hallo… ini siapa ya?”, kataku lagi.

“Ti… Ti… hiks… ini gue, Vivi”

“loh.. kok nangis sih, Vi? Loe kenapa?”, isak tangis Vivi yang masih terdengar di ujung telepon, membuatku sedikit cemas.

“Ti… tadi pas pulang sekolah, Intan tuh marah-marah terus disepanjang jalan sama gue. Gue juga bingung kenapa, Ti… Hiks…”

“lah… kok bisa sih?!!”, tanyaku menjadi bingung.

“katanya sih gara-gara sikap gue, Ti. Katanya gue over banget tadi pas rapat. Apalagi pas di depan Kak Bobi. Perasaan biasa aja deh, kok dia sesewot itu sih? Sampe dia bilang kalo gue tuh murah banget! Sakit nggak sih di gituin, Ti?!! Hiks…”, Vivi mencoba sedikit menjelaskan padaku sambil sesekali terisak.

“waduh, Vi… jujur aja nie… gue juga bingung mau gimana. Satu posisi mungkin Intan cuma mau ngingetin loe kali, biar laen kali nggak lebih over dari sikap loe yang tadi. Tapi satu posisi, dia kurang tepat dalam nyampein pendapatnya itu. Getu aja sih, Vi…”

“terus gue harus gimana, Ti?!! Tadi dia juga nelpon n’ masih marah-marah sama gue, seakan-akan gue tuh salah banget!! SUMPAH!! KESEL BANGET GUE!!”, nada suara Vivi semakin meninggi.

“i…iya… gue ngerti loe kesel. Tap gue harus gimana, Vi? Gue juga nggak tau”

“ya udah lah, Ti. Lagian gue juga cuma mau curhat aja kok. Biar lega aja. Cuma loe aja yang gue percaya, Ti…”, diseberang sana terdengar Vivi sedikit menghela nafas “makasih ya Ti, dah mau dengerin gue curhat”

“iya sama-sama Vi… mudah-mudahan aja keadaan nya membaik ya…”

“iya… sekali lagi makasih Ti…”

‘PIP’

Telepon ditutup.

‘KRIIING…’

Baru beberapa detik telepon dimatikan, sekarang berdering kembali.

“Hallo…”

“Hallo Tiara…”, kata orang diseberang dengan yakinnya.

“Ti… si Vivi tuh nyebelin baget sih! Tadi gue telepon dia, buat ngobrolin masalah yang tadi siang. Eh teleponnya malah ditutup n’ pake bilang gue tuh busuk! Emang salah apa Ti kalo gue ngingetin dia?”

“haduuuh… dia bilang getu karena loe juga bilang kalo dia tuh murah kali”, tanyaku sedikit meyelidik.

“iya sih, tapi kan itu perumpamaan aja, Ti… biar dia bisa sedikit ngerubah sikapnya yang kayak tadi siang”

“ya udah lah, Ntan. Gue juga bingung. Mending loe berdua selesaiin ini sendiri. Coz gue juga nggak terlalu paham sama apa yang kalian masalahin”

“iya deh Ti, makasih ya…”

‘PIP’ telepon kembali dimatikan.

‘KRIIING…’

“HUH…!!! SIAPA LAGI SIH!”, kataku sedikit kesal “HALLO!!!”, sapaku kasar pada orang diseberang.

“Ti… kok marah gitu sih? Gue Zee… gue bingung nih, si Vivi n’ Intan nelponin gue sambil nangis-nangis gitu gara-gara masalah tadi siang”

Mendengar penjelasan Zee, aku menghela nafas beberapa kali karena bosan mendengar ha-hal yang sama.

“Zee… mereka juga nelpon gue. Tapi ya udah lah Zee.. biarin mereka aja yang nyelesaiin masalahnya sendiri. Entar kalo kita ikutan, takutnya tambah runyam…”

“bener juga sih Ti. Ya udah lah… gue juga pusing sama mereka berdua… ya udah deh,, daahh Tiara…”

“Daahh Zee…”

‘PIP’

Telepon ditutup dan untung saja tidak berdering lagi.

Malam ini benar-benar malam yang aneh… Huff… L

Pagi yang cerah kembali menyapaku di hari Senin ini, tapi hatiku tidak secerah pagi ini jika megingat perselisihan antara Vivi dan Intan. Mungkin kemarin aku sedikit tenang dengan cara me non-aktifkan ponsel seharian. Mereka semua mengerti jika ponselku tidak aktif, berarti aku sedang tidak mau diganggu sedikitpun.. Tapi hari ini?!! Aku harus bertemu dengan mereka lagi. Sedikit enggan rasanya.

Selesai upacara bendera, seperti biasa, kami sebagai pengurus OSIS pasti berkumpul sejenak diruang sekreariat. Hari ini aku lah yang bertugas memberikan pengumuman-pengumuman kegiatan yang akan diadakan hari ini, setelah upacara selesai.

Setelah memberikan pengumuman, aku langsung menuju ke ruang sekretariat. Dan disana sudah ada semua anggota OSIS yang tidak bisa berkutik karena Vivi dan Intan sedang saling mencaci, dan diakhiri dengan tindakan Vivi yang melemparkan topi OSIS nya dengan kasar kearah Intan, lalu berlalu meninggalkan ruang sekretariat diikuti dengan Nana. Setelah itu, Intan pun berlalu pergi bersama Zee. Yang lain hanya geleng-geleng kepala tidak mengerti apa yang terjadi.

“Ti… mereka kenapa sih?”, Tanya Kak Bobi padaku saat aku sedang merapikan topi OSIS seluruh pengurus didalam lemari. Dan aku hanya menggeleng tanpa satu kata pun yang kuucap.

“kok nggak tau sih? Kaliah kan bersahabat…”, Kak Bobi kembali bertanya.

Aku pun tetap tidak memberi jawaban.

“oke oke kalau kamu nggak mau jawab pertanyaanku”, Bobi menghela nafas panjang sejenak “tim mading sekolah kita diundang dalam lomba mading yang diadakan walikota, aku mau tim kamu yang berpartisipasi, Ti…”, kata Bobi melanjutkan kata-katanya.

“tapi aku kan sudah tidak menjabat sebagai sie mading lagi, Kak”

“iya aku tau. Tapi tim kalian sudah terdegar ke-solid-an nya di luar sana. Aku mohon, Tiara… demi nama sekolah kita”, Bobi mencoba meyakinkan Tiara.

“bukannya aku nggak mau, Kak. Tim mading aku, nggak lain kan gank aku juga. Sedangkan Kak Bobi bisa liat sendiri kejadian tadi. Aku takut masalah yang ada diantara mereka malah menghambat proses pembuatan mading itu sendiri”, aku mencoba berargumen.

“kalau itu masalahnya. Seharusnya mereka bisa professional, jangan sampai masalah pribadi mengorbankan kepentingan sekolah”, kata Bobi sedikit geram.

“Kak Bobi sih gampang ngomong kayak gitu! Asal Kak Bobi tau aja ya, mereka seperti itu karena Kak Bobi!”, tanpa aku sadari,aku sedikit membentak Kak Bobi.

“Hah?! Kok jadi aku yang disalahin?!!”, Bobi bingung.

“gini aja, Kak. Pas istirahat, aku akan nyeritain semua secara empat mata sama Kak Bobi. Gimana?”, aku sedikit menghindar karena kalau aku menjelaskannya sekarang, aku takut terbawa emosi.

“OK! DEAL!”, jawab Bobi dengan pasti.

“oh begitu ceritanya…”, Bobi merespon setelah Tiara selesai menceritakan apa yang terjadi sebenarnya.

“nanti setelah pulang sekolah, aku akan coba bicarakan tentang lomba ini pada mereka. Aku harap Kak Bobi juga datang, aku perlu batuan Kak Bobi…”

“baik lah. Aku siap”

Sobh... tim mading kita diundang buat jadi peserta lomba yang diadain walikota. Gue mohon bantuan loe semua. Kalo Vivi n’ Intan nggak mau dateng, biar gue aja sama Nana n’ Zee yang ngerjain semuanya. Pulang sekolah, gue tunggu di sekret. Thx!

[send to : Intan, Nana, Vivi, Zee]

Aku yakin dengan bahasa sms seperti itu, mereka akan datang nanti siang.

Bel tanda pelajaran usai pun berbunyi, di depan kelas Tiara, Bobi sudah menunggu untuk menuju ke sekretariat bersama. Sesampainya di sekretariat, disana sudah ada keempat sahabat Tiara. Mereka sedikit terperangah melihat Tiara yang datang bersama Bobi.

“Ti.! Loe ngapain sih pake acara bawa-bawa dia kesini!”, bisik Nana sambil sekali melirik kearah sang mantan ketua OSIS. “bisa-bisa malah tambah runyam”, sambungnya.

“justru itu, dia gue bawa kesini, Na. dia udah tau semuanya. Dan info lomba itu, dia yang tau. Jadi sekalian aja gue bawa kesini”, bisiikku balik pada Nana.

Dan Nana hanya mengangguk pelan setelah mendengar penjelasanku.

“OK! Bisa kita mulai nggak untuk ngebahas soal lomba?”, aku mencoba membuka pembicaraan mengenai lomba. Tapi yang lain hanya diam saja “kenapa nggak ada yang jawab?”, sambungku untuk memancing mereka terutama Vivi dan Intan untuk berbicara.

“bisa Ti. Mulai aja”, jawab Zee.

“iya mulai aja”, sambung Nana.

“loe berdua gimana? Siap?”, tanyaku lagi sambil melirik kearah Vivi kemudian Intan. Tapi mereka tidak menjawab. “kalo nggak mau ikut rapat, mending nggak usah datang sekalian”, kataku sinis.

“sebenernya kenapa sih kalian jadi kayak gini?”, aku terus memancing mereka untuk berbicara.

“tau tuh si Intan! Dari hari Sabtu marah-marah terus!”, akhirnya Vivi angkat bicara.

“eh! Itu juga gara-gara sikap loe!”, bentak Intan.

“STOP….!!!”, aku berteriak “sadar nggak sih? Masalah yang kalian ributin tuh masalah yang sepele banget. Kenapa jadi besar kayak gini sih?”, mereka hanya diam.

“sekarang mending baikan deh. Nggak ada gunanya juga kayak gini”, kata Nana berinisiatif. Tapi tidak ada respon sama sekali dari pihak yang sedang berselisih.

“ahh… ni anak dua mang gengsi nya gede banget sih! Minta maap aja susah bener…”, kata Zee seraya menyatukan tangan Vivi dengan tangan Intan.

“maafin gue, Vi…”, nada suara Intan melemah.

“iya, Ntan. Gue juga minta maaf ya”, kataVivi sambil tersenyum.

“nah gitu donk…”, Kak Bobi akhirnya mengeluarkan suara. “sekarang bisa dimulai kan rapat untuk lomba nya?”

“eitz…!!! Entar dulu dong, Kak…”, cegahku dengan segera.

Tiara mengulurkan tangannya, diatas punggung tangan Tiara, Nana menumpuk tangannya, diikuti pula dengan Zee, Intan dan Vivi, dan dipaling atas ada tangan Bobi.

“CHEERS FOR FRIENDSHIP…!!!”, seruku bersemangat.

“CHEERS…!!! YE!!! YE!!! YEAH!!!”, ujar mereka berbarengan sambil menghempaskan tangan mereka ke udara dan diikuti dengan tawa bahagia diantara mereka.


7 tahun sudah berlalu sejak kejadian itu,

namun persahabatan mereka tetap kukuh hingga saat ini.

Dilihatnya foto yang ada di bagian bawah diary-nya,

Foto mereka berlima yang sedang memegang piala runner-up lomba mading tingkat walikota.

Tiara menutup diary yang sedari tadi dibacanya.

Ia tersenyum bahagia.


Miss U aLL >> GRADAKANZ :)


*Antie*

Tidak ada komentar: